Kesultanan Riau Lingga (1824 M)
Kesultanan Riau-Lingga adalah kerajaan Islam di Kepulauan Lingga, Kabupaten Lingga, Riau. Daerah Riau-Lingga, pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, setelah terlepas dari Malaka, daerah ini kemudian berada dalam kekuasaan Kesultanan Johor-Riau. Pada 1811, penguasa Kesultanan Johor-Riau saat itu, Sultan Mahmud Syah Ill wafat tanpa pewaris. Kekosongan kekuasaan menimbulkan sengketa perebutan takhta kesultanan antara putra tertua sultan Husain, dengan adik tirinya, Abdul Rahman. Dalam sengketa ini, Husain mendapatkan dukungan dari Britania sedangkan adik tirinya, Abdul Rahman mendapat dukungan dari Belanda. Setelah melalui sengketa panjang, pada tahun 1824 akhirnya Britania dan Belanda sepakat untuk mengadakan perjanjian yang kemudian dikenal dengan Traktat London. Perjanjian ini menghasilkan keputusan untuk membagi Kesultanan Johor menjadi dua bagian:
1. Johor berada di bawah pengaruh Britania.
2. Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda.
Pada tahun itu juga, Belanda mengangkat Abdul Rahman menjadi raja Riau-Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah. Selanjutnya, campur tangan Belanda sangat besar dalam perjalanan Kesultanan Riau-Lingga. Karena besarnya pengaruh yang dimiliki, Belanda benar-benar dapat menentukan nasib kesultanan ini. Seperti yang terjadi pada 7 Oktober 1857, pemerintah Hindia-Belanda menurunkan Sultan Mahmud IV yang saat itu sedang berada di Singapura, dari takhtanya. Dan kemudian menunjuk paman dari Sultan Mahmud IV, sebagai penggantinya, dengan gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah. Tindakan Belanda tidak hanya sampai di situ. Pada 1911, secara halus Belanda membuat Sultan Abdul Rahman Il meninggalkan Pulau Penyengat dan kemudian berpindah ke Singapura, Sultan terpaksa melakukan hal itu karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya. Pemerintah Hindia Belanda sendiri secara resmi melengserkan Sultan Abdul Rahman Il pada 3 Februari 1911, sekaligus menghapuskan keberadaan Kesultanan Riau-Lingga. Dan sejak tahun 1913, Belanda resmi memerintah langsung daerah Riau-Lingga.
Sepanjang keberadaannya, kesultanan ini hanya dipimpin oleh 5 orang sultan, yaitu:
1. Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah, masa pemerintahan (1824-1832);
2. Sultan Muhammad I1 Muadzam Syah, masa pemerintahan (1832-1835);
3. Sultan Mahmud IV Mudzafar Syah, masa pemerintahan (1835-1857);
4. Sultan Sulaiman Il Badarul Alam Syah, masa pemerintahan (1857-1883);
5. Sultan Abdul Rahman ll Muadzam Syah, masa pemerintahan (1885-1911).
Dalam pemerintahan lima orang sultan tersebut, Kesultanan Riau-Lingga tercatat memiliki peran penting dalam proses perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Karena, pada masa kesultanan itu, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan perkembangan bahasa-bahasa besar dari negara lain di dunia. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Sumber: Koleksi TBM ALC " Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar